Kamis, 18 Februari 2016

Mulai 2016, UN Pakai Sistem Komputer


Puluhan siswa SMA Istimewa Lapas Anak Pria Kelas IIA Tangerang sedang mengikuti ujian nasional, Selasa (15/4/2014).
JAKARTA, KOMPAS - Untuk menghemat biaya serta menjamin pelaksanaan yang jujur, bersih, dan fleksibel, ujian nasional akan menggunakan sistem komputer atau disebut dengan "computer-based test". Tes model ini bermanfaat untuk meningkatkan mutu, fleksibilitas, dan keandalan ujian nasional. Proses pengadaannya juga diharapkan lebih lancar.
Hal ini dikemukakan Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam, Sabtu (24/1/2015), di Jakarta. "Hasilnya juga bisa lebih rinci dan lebih cepat diperoleh murid, orangtua, dan sekolah," ujarnya.
Mulai tahun ini akan dilakukan perintisan atau uji coba ujian nasional (UN) dengan target beberapa sekolah pada setiap jenjang di setiap provinsi. Untuk tahun-tahun berikutnya, UN dengan sistem komputer akan dilakukan dengan cakupan lebih luas di 34 provinsi pada jenjang SMP/MTs, SMA/MA, SMK, serta Paket B dan C. Soal-soalnya sama atau setara dengan tes berbasis kertas (paper-based test).
Sekretaris Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suryadi menambahkan, tahun ini sudah dimulai uji coba UN dengan sistem komputer. Kriteria sekolah yang akan menyelenggarakan UN dengan sistem komputer akan dituangkan dalam petunjuk teknis.
"Nanti semua dijelaskan dalam pos dan petunjuk teknis. Sedang kami sempurnakan," ujarnya.
Dalam konferensi pers UN, Jumat lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan, tahun depan diharapkan akan ada pusat ujian atau tes.
Jika sudah ada pusat tes, diharapkan ke depan tidak perlu ada lagi pelaksanaan UN yang serempak pada satu hari di seluruh Indonesia. Jika UN bisa diselenggarakan dengan komputer, sekolah hanya perlu menentukan jadwalnya, lalu mengambil ujian sesuai jadwal masing-masing.
"Selama kita masih menggunakan paper-based test, masih pakai kertas, (UN) memang harus diselenggarakan satu hari karena soalnya keluar. Tapi, kalau pakai komputer, soalnya tidak keluar sehingga bisa dilakukan ulang," kata Anies.
Soal sulit
Setiap tahun sedikitnya 100.000 soal dibuat untuk kisi-kisi UN dan tidak digunakan lagi sehingga dinilai boros karena perlu dicetak. Namun, jika menggunakan sistem tes berbasis komputer, soal-soal yang masih bagus dapat dipertahankan dan yang sudah usang bisa dibuang.
"Kalau sekarang soalnya masih sekali pakai, lalu buang," kata Nizam.
Ke depan akan ada bank soal nasional untuk menampung soal-soal UN yang akan diperbarui setiap lima tahun sekali. Ketika itu pula, paling tidak ada 10-20 persen soal dibuang dan diganti yang baru.
Untuk UN tahun ini belum ada perubahan tingkat kesulitan soal. Standar kualitas soal masih mengikuti ketentuan Badan Standar Nasional Pendidikan tahun lalu.
Hanya, lanjut Nizam, tahun ini sudah dimasukkan soal-soal berkategori high order thinking. Ada 5-10 persen soal yang berkategori itu. Tahun lalu ada beberapa soal yang menggunakan standar Programme for International Student Assessment (PISA).
Soal-soal high order thinking ini dibuat oleh tim guru yang telah mendapat pelatihan dari tim PISA tahun lalu. Menurut Nizam, pihaknya menginginkan UN menjadi inspirasi bagi anak. Materi soal lebih banyak berkisar pada contoh dalam kehidupan sehari-hari sehingga anak memahami konteks, tidak hanya menghafal rumus atau soal.
"Kami ingin anak-anak tertantang ketika mengerjakan ujian. Soal-soal ini bisa menjadi tambahan pengetahuan. Anak didorong untuk berpikir," katanya.
Perubahan bentuk dan materi soal seperti ini mau tidak mau akan memaksa guru untuk mengubah cara pembelajarannya. Harapannya, guru tidak lagi memberi latihan menghafal pengerjaan soal terus-menerus menjelang UN atau drilling soal. Ketika hanya menghafalkan soal, yang terjadi adalah murid hanya diajari trik-trik mengerjakan soal.
"Ini yang terjadi di bimbingan belajar. Anak-anak hanya tahu trik-trik, tidak memahami konsep dan konteksnya," ujar Nizam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar